June 09, 2015

Pagi Ini, Di Kamar Ini

Pagi ini aku terbangun, berharap tidak berada di tempat ini. Terkadang aku benar-benar berharap tidak berada di tempat ini. Di dalam kamar ini. Aku ingin berada kembali di dunia asalku. Di kamarku yang dulu. Di tempat yang selalu mampu membuatku merasa nyaman. Di tempat yang membuatku selalu mampu menjadi diriku sendiri.  


Kukerjapkan mataku beberapa kali, sambil setengah sadar mencoba mencari ponsel yang selalu kuletakkan di dekat kepalaku sebelum tidur. Sayangnya, ketika menoleh ke arah jendela, seberkas sinar matahari yang masuk menyandarkanku kalau alarm yang kupasang di ponsel kembali belum berhasil membangunkanku pada pukul 05.30 dini hari. Bahkan meski aku memasang tiga buah alarm, tetap saja belum berhasil. Selepas itu, aku malah merutuk karena begadang hingga pukul 01.00 tengah malam.



Kulihat jam digital di layar ponsel menunjukkan pukul 06.30. Dugaanku tepat! Aku kembali merutuk, karena belum melaksanakan sholat subuh. Berjalan dengan sempoyongan, aku bergegas ke kamar mandi, berwudhu, lalu melaksanakan sholat subuh.

Kulirik seisi ruangan kamarku. Warnanya didominasi warna krem dinding dan lantai. Aku bangkit lalu kembali merebahkan tubuhku di atas kasur spring bed berukuran 1,5 x 2 meter. Seperti pagi pagi sebelumnya, aku enggan untuk segera mengguyur tubuhku meski jam sudah menunjukkan pukul 07.00.

Aktivitas pagi ini kuawali dengan mengaktifkan Wi-Fi dari ponselku, setelah menghidupkan notebook Lenovo-ku yang kuletakkan di atas kasur, lantas dengan duduk khusyuk sembari mengakses internet, aku membuka beberapa situs tempatku biasa mengunduh film-film terbaru. Ya, bahkan ini sudah menjadi rutinitas harianku, mengunduh satu atau dua film sebelum berangkat kerja.

Aku sadari, pekerjaan seperti ini sangat tidak membawa manfaat untuk diriku apalagi aku sudah banyak melupakan hobi-hobiku yang biasa aku lakukan saat sebelum berada di tempat ini. Aku merasa terbelenggu dengan aktivitas bodoh ini. Namun hanya ini yang dapat menghiburku sekaligus membuatku jenuh.

Di duniaku yang dulu, di kamarku yang dulu, aku bebas berbuat apapun yang aku mau. Aku bebas berimajinasi dan menuangkannya dalam bentuk tulisan atau lukisan. Atau kalau bosan dengan menulis dan melukis, aku bisa bebas mencari inspirasi lewat ratusan buku yang kumiliki. Aku bebas.

Di kamarku yang sekarang, aku tetap memiliki beberapa buku yang bisa aku baca sewaktu-waktu bila memang aku merasa bosan. Memang, salah satu hobiku adalah membaca atau lebih tepatnya mengoleksi buku. Mengoleksi buku seakan membuatku menjadi orang yang paling pandai. Menjadi penguasa dunia. Penguasa di kamarku sendiri.

Sayang, beberapa buku yang kumiliki malah masih tersegel plastik dan tidak kusentuh sama sekali. Tentu saja ini salah satu alasan kenapa aku merasa aku sudah tidak menjadi diriku sendiri lagi. Aku yang selalu mampu meluangkan waktu untuk membaca buku atau koran, sekarang jadi tidak begitu berselera untuk mengeja setiap aksara yang pernah menjadi santapan harianku. Jangankan buku atau koran, bahkan kita suci Al-Qur’an sebagai bacaan wajib sebagai seorang muslim, aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menyentuh, membuka dan melantunkannya.

Pagi ini, di kamar ini, seperti pagi pagi yang sebelumnya, aku hanya duduk terpekur sendiri. Di depan cahaya layar notebook dengan wajah yang sayu, aku merenungi dan menyesali apa yang tidak pantas aku sesali.

“Begitu memang kalau orang sudah memiliki pekerjaan sendiri. Sudah punya uang sendiri.”

Kata-kata ibuku masih teringat dengan jelas di kepalaku. Kata-kata yang bak menjadi kutukan hampir semua orang, yang dapat membuat kita lupa dengan hal-hal yang dimiliki, bahkan sempai lupa dengan diri sendiri.

Pekerjaan seharusnya tidak membuatku seperti ini, menjadi aku yang bukan diriku. Mungkin seperti itulah ketika seseorang dibenturkan dengan tanggungjawab pekerjaan. Namun aku tidak ingin menyalahkan pekerjaan atau apapun, karena sekali lagi aku tidak ingin menyesali jalan yang telah aku pilih. Aku hanya perlu bersyukur dengan yang telah aku lalui selama ini, karena masih banyak orang-orang di luar sana yang tidak hanya menderita batin, tapi juga menderita fisik dan lain-lain.

Aku baru saja selesai mengunduh dua film, lalu kulirik sekali lagi jam di ponselku. Pukul delapan kurang lima menit. Seharusnya aku sudah harus berangkat kerja, atau setidaknya berpakaian rapi, tapi aku masih terpaku di tempatku sedari tadi. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, dilema antara bersiap-siap ke kantor atau kembali melanjutkan aktivitasku ini. Masih banyak daftar film yang aku ingin unduh.

Tidak masalah bila aku terlambat ke kantor pagi ini. Sama seperti pagi pagi sebelumnya aku tidak begitu peduli bila nanti terlambat ke kantor, karena pekerjaanku bukan bagian dalam kantor. Aku adalah seorang pekerja lapangan. Kerjaanku adalah datang berkunjung ke instansi-instansi kesehatan dan menemui…

Ah, sial! Aku tidak sedang ingin membahas pekerjaanku kali ini. Biarlah pekerjaanku menjadi urusan diriku yang lain. Diriku yang lain, yang harus aku ciptakan untuk menjadi pengganti diriku.

Seperti itulah, pagi ini dan pagi pagi sebelumnya aku sering lalui dengan kakalutan dan kegelisahan. Hanya hal-hal kecil nan bodoh yang kadang bisa mengalihkan semua itu.

Pagi ini, di kamar ini, aku telah menjadi orang lain…

Palopo, 10 Juni 2015

No comments:

Post a Comment