Terlahir dari seorang ayah yang pernah menjadi seorang petani semasa kecilnya, ternyata menjadi kebanggan tersendiri. Dari ayah, aku belajar sedikit tentang ilmu bertani. Bertani bukan sekadar menanam padi di sawah, tapi segala macam tanaman yang menghasilkan sesuatu untuk dimakan.
Dari ilmu bertani ayah, aku juga sempat belajar menanam tanaman hias, yang walaupun tanamannya biasa saja, tapi teman dan tetangga cukup kagum dengan kemampuanku merawat tanaman. Bahkan seorang tetangga sempat mengakui kalau aku ini bertangan dingin. Tangan dingin adalah istilah untuk menggambarkan seorang yang mampu menanam dan merawat tumbuhan jenis apa saja.
Sejak tahun 2011, aku diberikan ayahku dua petak lahan di daerah Gowa, sekitar 7 Km dari rumah, namun hanya 500 m dari kampus UIN Alauddin. Sebenarnya, kalau aku sadar besarnya manfaat hobi bertani kecil-kecilan dengan memanfaatkan lahan seluas 8x16 m sebanyak dua petak, mungkin sebelum wisuda aku bisa produktif dalam menghasilkan aneka sayur dan buah hasil bertaniku sendiri. Tapi saat itu aku memang lebih memilih menyibukkan diri dengan organisasi.
Aku baru mulai memerhatikan lahan itu di tahun 2015, saat aku baru saja melepas pekerjaanku di daerah Palopo dan sedang menjalani kuliah lanjutan Profesi Apoteker di Universitas Hasanuddin. Lalu mulai di awal tahun 2016 aku membersihkan sendiri semua rumput dan tanaman liar yang tumbuh di dalam lahan itu.
Waktu favorit bagiku untuk datang ke sana adalah pagi hari pukul 08.00. Sebenarnya di waktu seperti itu sudah cukup telat, karena tidak lama lagi matahari akan terasa semakin terik. Namun karena kebiasaan harus sarapan lebih dahulu, aku jadi lebih mementingkan sarapanku daripada khawatir dengan kulit yang akan hangus terbakar karena sengatan sinar matahari.
Aktivitas ini rutin kulakukan setiap hari Ahad, selama empat pekan. Lalu berhenti begitu saja sebelum semua tanaman liar itu bersih, karena ternyata kesibukan kuliahku menuntut perhatian yang lebih tinggi meski di akhir pekan. Jadi lahan itu kembali terlantar selama lebih satu tahun, karena baru pertengahan tahun 2017 aku baru kembali lagi ke sana.
Sebelumnya, lahan itu pernah kuajukan untuk dibuatkan sertifikatnya agar lebih aman dari mafia tanah, karena memang sejak dibeli, hanya ada akte tanah yang diberikan. Satu tahun pengajuan sejak tahun 2016 dan belum ada kepastian sama sekali, aku kembali menarik berkas-berkasku. Aku khawatir justru ada oknum yang mungkin akan menyalahgunakan berkas-berkasku selama penantian pengurusan penerbitan sertifikat.
Berlanjut dengan kedatanganku kembali menghidupkan lahan tersebut, kini aku optimis kalau lahan itu akan benar-benar produktif. Setidaknya lahan itu bersih rumput dan tanaman liar, juga minimal ada tanamana sejenis ketela pohon yang tumbuh dan bisa dipanen hasilnya sewaktu-waktu.
Sebelum dibersihkan, lahan itu banyak ditumbuhi dengan tanaman rambat, aneka jenis rimpang, seperti kunyit, temulawak, dan lain-lain, juga beberapa macam rumput liar. Yang paling susah dibersihkan adalah rumput berduri dan putri malu. Karena aku membersihkannya dengan tangan terbuka tanpa kaos tangan, jadi kulit tanganku banyak lecet. Aku memakai parang hanya untuk memangkas tanaman berbatang yang keras dicabut akarnya.
Selain tanaman liar tersebut, ada juga pohon mangga dan pohon pisang. Sayangnya saat aku datang, kedua pohon itu sedang tidak berbuah. Pohon mangga saat itu memang belum musim berbuah dan pohon pisang yang sakit jadi tidak bisa lagi berbuah. Bahkan tunasnya pun ikut sakit-sakitan karena belum sampai tumbuh tinggi, ia lebih dulu tumbang dari induknya.
Saat itu baru masuk pertengahan musim kemarau, dan saat seperti memang baik untuk membersihkan lahan. Tanaman mudah dibabat dan dibakar. Aku juga memakai sedikit bantuan bahan kimia untuk membasmi dan menghambat pertumbuhan rumput-rumput. Hingga akhirnya dalam waktu lebih dari satu bulan seluruh lahan itu bersih sama sekali tanpa rumput. Bahkan tiga pohon yang tumbuh di tengah juga berhasil kutebang.
Sungguh perjuangan yang besar hingga membuat kulitku ikut berwarna legam, karena tidak jarang aku bekerja membersihkan sampai tengah hari. Makanya salah seorang tetanggaku yang berasal dari Malino dan memiliki rumah tepat di depan lahanku pernah menyebutku seorang pekerja ulet. Dia berandai kalau aku tinggal di Malino dan mengurus kebun, aku mungkin bisa sukses menjadi seorang petani kebun. Saat itu aku hanya menjawab kalau aku memang lahir dari seorang ayah petani.
Mulailah aku mencangkuli lahan itu. Kegiatan mencangkul ternyata tidak lebih ringan dari pada membersihkan rumput-rumputnya. Aku harus merasakan lelahnya membungkuk saat mencangkul. Ditambah lagi lahan yang masih dalam keadaan kering, membuat tanahnya agak keras. Sambil mencangkul aku juga mulai menanami ketela pohon di pinggir-pinggir lahan, untuk menjadi pembatas dan pagar hidup. Mungkin saja pagar hidupnya bisa ikut produktif selain tanaman yang akan kutanami di dalam lahan.
Batang ketela pohon yang kupakai kuambil di sekitar lahan yang memang tampaknya tumbuh liar. Jadi tidak jarang saat mengambil potongan batangnya aku juga mendapatkan isinya (ubi kayu) dan bisa kubawa pulang untuk dijadikan kudapan ubi goreng di rumah.
Sekali-kali aku bertanya ke tetangga, tanaman apa saja yang baik untuk ditanami dengan karakter lahan yang kumiliki selain ketela pohon. Dia menyarankan agar menaman yang memang mudah dirawat, aman dari hama, dan hewan pengerat. Dulu memang masih ada babi yang sering merusak tanaman, tapi sepertinya saat ini babi sudah berkurang karena sudah banyak pemukiman warga.
Lalu aku mulai merencanakan jenis tanaman yang akan kutanam di sana. Tentu saja rencana ini kupertimbangkan sesuai dengan kondisi lahan dan kemudahan mendapatkan bibitnya. Lalu kutetapkan, tanaman yang akan kutanam antara lain: ketela pohon, ketela rambat, jagung, lombok, dan tomat. Ada juga jenis tanaman pohon, seperti pisang, belimbung wuluh, belimbing manis, jeruk nipis, pepaya, kelor, dan nangka.
Oh iya. Seperti ini siteplan rencana bertani di lahanku:
Semuanya jenis tanaman yang akan kutanam tampak mudah untuk dibibit dan hasil buahnya sangat berguna untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Setidaknya beberapa tanaman itulah yang pernah ditanam ayahku di pekarangan rumah di Baubau. Jadi saat membersihkan lahan, aku juga sudah menyiapkan bibit beberapa tanaman yang pasti akan kutanam di sana.
Usahaku mulai berhasil saat kulihat batang-batang ketela pohon mulai tumbuh. Kuncup-kuncup barunya mulai naik yang berarti akarnya mulai tumbuh merambat di bawah. Hanya saja yang akan sedikit susah adalah memastikan benih jagung yang kutanam juga tumbuh dengan subur. Termasuk bibit lombok dan tomat, yang tampaknya kian hari kian layu karena musih hujan belum juga kunjung tiba.
Mungkin salah satu kesalahanku karena aku terlalu memaksakan segera memindahkan semua bibit itu, padahal lahan masih kering. Jadi untuk mengatasinya, aku selalu menyiramnya di pagi hari saat datang dan siang hari sebelum pulang. Aku juga memastikan datang untuk menyiram tanaman itu minimal dua kali sepekan.
Memang benar ada peribahasa menyebutkan, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Tapi tetap saja kalau usaha tanpa dilakukan berdasar ilmu dan pengalaman, hasil bisa saja tidak akan maksimal, sebesar apapun itu usahanya. Hingga tiga bulan bergelut dengan lahan itu, aku memutuskan untuk sekali lagi meninggalkannya. Bukan karena putus asa karena melihat belum ada hasil yang bisa kunikmati selain sisa ubi ketela pohon liar yang kudapatkan, tapi karena tuntutan tugas yang lebih besar.
Di akhir tahun 2017 aku diminta ayahku kembali ke Baubau untuk membantu usahanya mendirikan pabrik dan perusahaan manufaktur air minum kemasan. Jadi anatara berat hati dan merasa usaha bertani di lahan sendiri masih belum membuahkan hasil yang bisa dinikmati, aku pun rela meninggalkan lahan itu untuk ketiga kalinya. Aku berpikir, mungkin kalau aku kembali tinggal di Baubau, nantinya lahan ini akan kudatangi hanya untuk kudirikan bangunan rumah atau semacamnya.
Sempat kudapati satu kali hujan turun dan membasahi semua lahan. Saat itu aku senang sekali, karena aku yakin nutrisi air hujan lebih banyak daripada air kran biasa. Benar saja, sepekan kemudian beberapa benih tumbuh dengan baik dan diikuti beberapa kuncup tanaman liar ikut tumbuh. Jadi kusimpulkan kalau pekerjaan bertani tidak hanya berat di awal saat akan memulai, tapi juga saat merawat pertumbuhan tanaman yang ditumbuhkan.
Setahun kemudian aku mendatangi lahanku itu, rumput dan tanaman liar tumbuh cukup subuh. Semua bibit lombok dan tomat mati tak tersisa. Jagung-jagung juga sudah layu, mungkin hasilnya sudah diambil oleh tetangga yang kelaparan dan serakah. Bibit nangka, kelor, belimbing wuluh, belimbing manis, dan jeruk nipis hilang atau mati, karena tidak meninggalkan jejak sedikit pun. Hanya tanaman ketela pohon yang ada di dalam dan pinggir lahan yang masih kokoh bertahan. Termasuk satu pohon pepaya yang kutanam di sudut. Padahal waktu itu ada tiga bibit yang kutanam.
Secara keseluruhan, pengalaman bertani cukup banyak kudapatkan di sini. Lelah letihnya mungkin tak terbayar banyak, hanya bisa kudapatkan dari hasil ketela pohon, yang itupun kadang diambil oleh tetangga. Pohon pepaya belum cukup besar untuk menghasilkan buah. Hanya saja aku bersyukur pengalaman berharga itu dapat kuterapkan di tempat lain, dan aku tahu usaha itu digantikan dengan kesempatan yang lebih besar untuk mengelola perusahaan ayahku.
Tidak ada usaha yang sia-sia, tapi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik butuh kerja keras dan pengalaman yang memadai. Hasil boleh saja dibagikan dan dinikmati orang lain, tapi Tuhan pasti akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik dari yang sudah diusahakan sebelumnya.
Samata, 5 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment